Selasa, 05 Mei 2009

Didanai Bank Asal Cina, PLTU Nagan Menyala 2011

Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya, Provinsi Aceh, dipastikan beroperasi awal 2011 menyusul ditandatanganinya perjanjian kredit antara PT PLN dengan The Export Import Bank of China (CEXIM) dan Bank of China sebesar 1,06 miliar dolar AS. Fasilitas kredit tersebut juga membiayai PLTU Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, dan PLTU Teluk Naga, Banten. Penandatanganan tersebut dilakukan Dirut PT PLN Fahmi Mochtar dengan Li Jun (Vice President CEXIM) dan Tang Mao Heng (Deputi General Manager of Corporate Banking Departement BOC), disaksikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di sela-sela acara Sidang Tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB), Senin (4/5) di Nusa Dua, Bali.

Menkeu mengatakan, pinjaman ini akan mendanai 85% porsi dolar AS untuk membiayai proyek PLTU Nagan Raya USD 124 juta, PLTU Pelabuhan Ratu USD 481 juta, dan PLTU Teluk Naga sebesar USD 455 juta. “Dengan penandatanganan ini, maka pembiayaan ketiga PLTU tersebut saat ini sudah sepenuhnya diperoleh,” ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya PLTU Nagan Raya telah memperoleh kredit pembiayaan dari Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbankda) sebesar Rp 614 miliar, PLTU Pelabuhan Ratu dari Bank Mega Rp 1,874 triliun dan PLTU Teluk Naga dari Bank Bukopin sebesar Rp 1,607 triliun. CEXIM dan BOC merupakan kreditur tunggal yang menyediakan pinjaman jangka panjang untuk masing-masing fasilitas kredit dengan jaminan penuh dari Menkeu. Sri Mulyani menjelaskan, fasilitas kredit dari kedua bank tersebut diberikan dengan tenor 15 tahun, termasuk grace periode selama tiga tahun. “Pinjaman yang berbasis LIBOR ini bertenor lebih panjang dari apa yang tersedia di pasar pinjaman komersial,” katanya.

PLTU Nagan Raya memiliki kapasistas 2x110 MW, PLTU Pelabuhan Ratu 3x350 MW, dan PLTU Teluk Naga 3x315 MW. Proyek tersebut merupakan bagian dari Fast Track Program 10.000 MW. Dengan penandatanganan itu maka tujuh proyek utama Fast Track Program yang berada di Pulau Jawa, yaitu PLTU Paiton, Suralaya, Labuhan, Indramayu, Rembang, Pelabuhan Ratu, dan Teluk Naga sudah memperoleh kepastian pendanaan penuh baik untuk porsi rupiah maupun dolar. Untuk lokasi luar Jawa, 20 dari 22 proyek yang dikontrak telah berhasil memperoleh komitmen pendanaan porsi valas sebesar USD 527 juta dan 16 lokasi telah memperoleh komitmen pendanaan porsi rupiah sebasar Rp 5,7 triliun.


Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat kawasan pantai barat selatan Aceh sebagian besar tidak mendapat suplai arus listrik. Ini terjadi setelah dua pembangkit listrik, yakni PLTU Kuta Makmue, Nagan Raya, dan PLTD Seuneubok, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, mengalami kerusakan. Informasi terakhir, kedua pembangkit listrik yang rusak itu baru akan selesai diperbaiki pada Juni atau Juli 2009. Ini pun belum ada kepastian. PLTU Kuta Makmue yang mampu memproduksi listrik 10 megawatt (MW) sebetulnya mampu menyuplai arus listrik untuk tiga kabupaten, yakni dari Nagan Raya, Aceh Barat, hingga ke Kabupaten Aceh Jaya. Selain itu masih ada tenaga listrik yang diproduksi PLTD Seuneubok, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat. Jika kedua pembangkit listrik ini beroperasi normal, sebetulnya masyarakat di tiga kbupaten itu tidak ada masalah. Tapi, kenyataannya, kedua pembangkit itu selalu dibelit masalah alias ngadat.
»»  read more

Delapan Partai di Aceh Kehilangan Kursi DPRA

Delapan dari 11 partai politik yang mendapat kursi di DPR Aceh pada Pemilu 2004 diperkirakan akan gagal mempertahankan atau kehilangan kursi pada Pemilu legislatif 2009 di Provinsi Aceh. Data yang diperoleh dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh di Banda Aceh, Senin (4/5), dari rekapitulasi suara hasil pemilu di 23 kabupaten/kota ada sembilan partai nasional yang mengalami penurunan perolehan kursi, bahkan ada partai yang gagal sama sekali pada pemilu kali ini. Delapan parpol tersebut adalah Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sebelumnya sama-sama mendapat 12 kursi di DPRA pada pemilu lalu, pada Pemilu 2009 hanya bisa mendapat delapan dan tiga kursi. Selanjutnya, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya meraih sembilan dan delapan kursi, kini turun menjadi lima dan empat kursi.

Partai Bulan Bintang (PBB) yang pada pemilu lalu mendapat delapan kursi kini turun menjadi satu kursi. Bahkan Partai Bintang Reformasi (PBR) yang memiliki fraksi di DPRA dengan delapan kursi, kini tidak memiliki satu kursi pun. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sebelumnya dua kini tinggal satu kursi, sedangkan Partai Persatuan Nadhlatul Ummah Indonesia (PKNUI) yang sebelumnya dua kursi kini tidak ada sama sekali. Hanya satu-satunya parpol yang mampu menambah kursinya pada Pemilu 2009 adalah Partai Demokrat yang sebelumnya enam kursi kini menjadi 10 kursi.

Sedangkan dua parpol yang mempertahankan kursinya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang masing-masing tetap mendapat satu kursi. Berkurangnya kursi yang diperoleh sembilan aprpol tersebut, karena munculnya enam partai lokal, satu diantaranya Partai Aceh yang berhasil mendominasi kursi DPRA pada Pemilu 2009 dengan meraih 33 kursi. Pada Pemilu 2009 terdapat 12 parpol yang mendapat kursi, bertambah dua partai, yakni Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Patriot masing-masing satu kursi.
»»  read more

Selasa, 28 April 2009

Dialog Bung Karno dan Kadirun Yahya

Suatu hari, pada sekitar bulan Juli 1965, Bung Karno berdialog dengan Kadirun Yahya, anggota dewan kurator seksi ilmiah Universitas Sumatra Utara (USU).

Bung Karno (BK): Saya bertanya-tanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu, tapi semua jawaban tidak ada yang memuaskan saya, en jij bent ulama, tegelijk intellectueel van de exacta en metaphysica-man.

Kadirun Yahya (KY): Apa soalnya Bapak Presiden?

BK: Saya bertanya lebih dahulu tentang hal lain, sebelum saya memajukan pertanyaan yang sebenarnya. Manakah yang lebih tinggi, presidentschap atau generaalschap atau professorschap dibandingkan dengan surga-schap?

KY: Surga-schap. Untuk menjadi presiden, atau profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan mengabdi pada nusa dan bangsa, atau ilmu pengetahuan, sedangkan untuk mendapatkan surga harus berkorban untuk Allah segala-galanya berpuluh-puluh tahun, bahkan menurut Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup baru dapat masuk nirwana.

BK: Accord, Nu heb ik je te pakken Proffesor (sekarang baru dapat kutangkap Engkau, Profesor.) Sebelum saya ajukan pertanyaan pokok, saya cerita sedikit: Saya telah banyak melihat teman-teman saya matinya jelek karena banyak dosanya, saya pun banyak dosanya dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Quran dan hadist. Bagaimana caranya supaya dengan mudah menghapus dosa saya dan dapat ampunan dan mati senyum; dan saya ketemu satu hadist yang bagi saya sangat berharga.

Bunyinya kira-kira begini: Seorang wanita pelacur penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing yang kehausan. Wanita tadi mengambil segayung air dan memberi anjing yang kehausan itu minum. Rasulullah lewat dan berkata, “Hai para sahabatku, lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, terhapus dosa wanita itu di dunia dan akhirat dan ia ahli surga!!! Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan surga harus berkorban segala-galanya, berpuluh tahun itu pun barangkali. Sekarang seorang wanita yang banyak berdosa hanya dengan sedikit saja jasa, itu pun pada seekor anjing, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli surga. How do you explain it Professor? Waar zit‘t geheim?

Kadirun Yahya hening sejenak lalu berdiri meminta kertas.

KY: Presiden, U zei, dat U in 10 jaren’t antwoor neit hebt kunnen vinden, laten we zein (Presiden, tadi Bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, mari kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam dua menit, saya dapat memberikan jawaban yang memuaskan.

Bung karno adalah seorang insinyur dan Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika, jadi bahasa mereka sama: eksakta.

KY menulis dikertas:10/10 = 1.

BK menjawab: Ya.

KY: 10/100 = 1/10.

BK: Ya.

KY: 10/1000 = 1/100.

BK: Ya.

KY: 10/bilangan tak berhingga = 0.

BK: Ya.

KY: 1000000/ bilangan tak berhingga = 0.

BK: Ya.

KY: Berapa saja ditambah apa saja dibagi sesuatu tak berhingga samadengan 0.

BK: Ya.

KY: Dosa dibagi sesuatu tak berhingga samadengan 0.

BK: Ya.

KY: Nah…, 1 x bilangan tak berhingga = bilangan tak berhingga. 1/2 x bilangan tak berhingga = bilangan tak berhingga. 1 zarah x bilangan tak berhingga = tak berhingga. Perlu diingat bahwa Allah adalah Mahatakberhingga. Sehingga, sang wanita walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekali pun, mengkaitkan, menggandengkan gerakkannya dengan Yang Mahaakbar, mengikutsertakan Yang Mahabesar dalam gerakkannya, maka hasil dari gerakkannya itu menghasikan ibadat paling besar, yang langsung dihadapkan pada dosanya yang banyak, maka pada saat itu pula dosanya hancur berkeping keping. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1 zarah x tak berhingga)/dosa = tak berhingga.

BK diam sejenak lalu bertanya: Bagaimana ia dapat hubungan dengan Sang Tuhan?

KY: Dengan mendapatkan frekuensinya. Tanpa mendapatkan frekuensinya tidak mungkin ada kontak dengan Tuhan. Lihat saja, walaupun 1mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio kita dengan frekuensi yang tidak sama, radio kita tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga, walaupun Tuhan dikabarkan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tidak mungkin kontak jika frekuensinya tidak sama.

BK berdiri dan berucap: Professor, you are marvelous, you are wonderful, enourmous. Kemudian aia merangkul KY dan berkata: Profesor, doakan saya supaya saya dapat mati dengan senyum di belakang hari.

Beberapa tahun kemudian, Bung karno meninggal dunia. Resensi-resensi harian-harian dan majalah-majalah ibukota yang mengkover kepergian beliau, selalu memberitakan bahwa beliau dalam keadaan senyum ketika menutup mata untuk selama-lamanya.

»»  read more

Minggu, 26 April 2009

Gampong Global

SYUKUR kota Banda Aceh akhir-akhir ini, kita bagai sedang menikmati secangkir sanger di pojok Ulee Kareng. Lamban tapi pasti, pembenahan kota mulai terasa. ‘Kota Tsunami’ yang dulu meuleuhob (berlumpur), kini sedikit teratur. Terutama di beberapa ruas. Tak mengherankan jika usai dihayak gelombang maut empat tahun silam, kini sudah terlihat ‘jernih’, meski ada kekumuhan yang tak mengenakkan. Memang, kesannya, seakan persoalan itu klasik. Tapi jangan sampai membuat kita terus asyik.

Bila memori kita putar sebentar keempat abad silam, kota tua yang dibelah Krueng Aceh itu, tidak seperti ini. Sudah pasti. Apalagi saat para saudagar belahan dunia berniaga rempah-rempah ke Kerajaan Aceh. Kabarnya, kekosmopolitanannya sangat kentara. Pasalnya, para pedagang yang singgah dari berbagai negara itulah yang membuat pelabuhan laut sibuk.

Menurut Karel Frederik Hendrik van Langen dalam buku “Inrichting van het Atjehsche staatsbestuur onder het sultanaat” yang ditulis sekitar tahun 1886 disebutkan, pada masa Kerajaan Aceh berbagai bangsa di dunia, berniaga ke wilayah tersebut.

Pada buku yang dalam bahasa Indonesianya berarti, “Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan” K.F.H van Langen menyebutkan orang Arab, Benggali, Melaya dan Jawa, masuk ke Aceh dalam berbagai urusan. Kabarnya, ketika kesultanan masih bertahta, Aceh sudah tergolong sebuah kawasan kosmopolit. Ini terbukti dengan banyaknya masuk bangsa-bangsa di dunia ke Aceh, seperti disebutkan pejabat sipil Belanda yang berkuasa di Kutaraja saat itu.

Sejak zaman dulu, Kutaraja sekarang bernama Banda Aceh sudah aktif dalam pergaulan internasional. Jejak sejarah lain yang masih tersisa juga sudah membumi di Aceh. Simak saja gampong-gampung Aceh seperti Lamno, Bitai, Peulanggahan, Jurong Kleng, Gigieng serta Eumperom dan lainnya. Bukan cuma itu, di kota kerajaan ini banyak juga kita jumpai komunitas berbagai bangsa, seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Ketika itu, wilayah di bibir laut ini, benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional.

Denys Lombard dalam buku ‘Kerajaan Aceh’ menulis, pada masa itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan dan pengecoran meriam. Orang Aceh juga mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa. Atas fakta itulah, kita bisa menerka, Aceh juga menjadi tempat transit atau bertemu dan bercampurnya berbagai bangsa yang ikut membentuk identitas orang Aceh kekinian. Dengan pengaruh itulah, hidup sifat keterbukaan terhadap dunia luar, kosmopolitan, ragam etnis, toleran serta terbuka dengan anasir baru.

Kehadiran ‘kembali’ multibangsa di dunia ke tanoh Aceh, bagai ingin menonjolkan reinkarnasi cerita kosmopolitan masa silam. Kendati, mereka datang bukan berniaga, tapi lebih pada upaya sosial menyapu air mata kita yang memburai usai diaduk gempa dan tsunami. Seusai bencana itu, Aceh seakan kembali ke zaman kosmopolit, di mana banyak bangsa dan ras bekerja dengan tentram. Modal pasca rehab-rekon juga memungkinkan kita untuk membuka kembali buku tamu agar banyak catatan dari para pendatang.

Kini, fasilitasnya sudah tersedia. Salah satu, hadirnya Bandara internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang di Aceh Besar. Bandara SIM juga memberi makna tersendiri. Bandara yang menghabiskan anggaran Rp330 miliar, memiliki landasan pacu sepanjang 3.000 meter. Lebar apron dari 23.424 meter persegi menjadi 69.591 meter persegi. Begitu juga dengan sejumlah pelabuhan laut bertaraf internasional. Sarana lain juga tak kalah baiknya, ada pelabuhan laut, prasarana darat yang mulai membaik. Dengan kondisi bandara seperti itu, optimis akan mampu menggiring Aceh lebih maju.

Semua itu tergantung kita sekarang. Mau atau tidak, kita maju bersama warga dunia. Sebab sekarang kita punya modal yang kuat berupa fasilitas yang memadai, sehingga bukan mustahil akan membawa Banda Aceh menjadi ‘gampong’ global. Kenapa gampong? Kesannya mungkin leceh. Namun tak berlebihan rasanya, jika saya melakabkan itu. Saya melihat ada ‘kecelakaan budaya’ yang nyaris mendarah daging di nanggroe kita. Ya, di kota kita ini. Kita sebagai bagian dari warga dunia, sepertinya tidak siap untuk menuju ke sana.

Tak perlu mengulas perkara yang muluk-muluk, misalnya dari sisi pelayanan publik yang maksimal bagi warganya, atau kinerja aparatur pemerintahan. Saya lebih melihat dari segi ketertiban saja. Aturan dibuat untuk dilanggar. Apakah salah pembuat aturan atau warganya yang miskin kesadaran?

Lihat saja begitu kota ditata dengan pola yang sedikit mengglobal, tapi kita malah menemukan nuansa gampong di sekitarnya. Sejatinya, meski tinggal di gampong, kesan rapi, asri, dan bersih tetap terpelihara. Jangan karena alasan tinggal di pelosok, lantas membuat kita hidup jorok. Karenanya marilah jujur. Sebaba saya risau melihat bangunan-bangunan megah bin mewah yang akhir-akhir ini terpacak. Kerisauan itu rasanya cukup beralasan. Ketika kita mendapati banyak kekumuhan dan kekampungan yang tak elok di mata. Jadi tak salah, jika ada yang mengatakan gampong ini bak ‘kota berwajah desa’.

Kekumuhan terjadi di mana-mana. Sementara pada sisi lain, penguasanya ingin memoles kota dengan gaya moderen (baca: global). Namun, pada tempo yang lain tak menyiapkan warganya untuk siap menerima perubahan itu. Bisa dilihat dengan minimnya sosialisasi ke masyarakat. Seharusnya segera diberantas pemerintah kota. Apalagi nyaris setiap ruas jalan selalu ditimpangi dengan kios-kios kecil yang bukan saja merusak ‘suasana’, tapi paling tidak teratur. Bisa sesuka mereka saja. Sehingga memberi kesan kota ini tanpa aturan.

Keberadaan kios ini, terkadang memang membawa manfaat bagi rakyat kecil. Tapi pada sisi lain, pemerintah menertibkan mereka, agar tidak serampangan memasang dan berjualan, apalagi sampai memakan lahan parkir. Ini pula yang ‘merusak’ pemandangan kota yang sedang berbenah ini.

Kondisi ini bisa kita saksikan sepanjang ruas jalan di Banda Aceh. Kesannya, jika tanpa kios kayaknya bukan Kutaraja eh Banda Aceh namanya. Tapi syukur, belakangan pemerintah kota sudah mulai menindak tegas prilaku ini. Semoga tindakan tegas ini kontinue dan tanpa pandang bulu.

Begitu pula dengan ulah para pedagang buah, yang memacak mobil seenaknya di ruas jalan-alan protokol. Mereka bukan cuma menyerobot lahan parkir, juga menambah beban para petugas kebersihan. Kalau bersih, rapi, teratur, tidak amburadul mungkin masih bisa kita amini dalam batas toleransi.

Apa yang disaksikan justru kontradiktif. Amati saja, selain mereka seenaknya saja, juga kurang peduli dengan kebersihkan. Tapi belakangan ini, kayaknya Walikota sukses menggeser itu dari pusat-pusat strategis. Ini mungkin langkah berat, tapi daripada memberi kesan miris, itu pilihan paling akhir. Selesai itu, muncul pula problem lain yang tak kalah pusingnya. Itu tak lain munculnya, puluhan tenda di setiap ruas jalan. Tenda pulsa ini, pada satu sisi upaya membantu sebagian mereka mencari income sampingan. Pada sisi lain, mereka juga terkadang, ‘berkemah’ sembarangan. Asalkan sedikit lapang, langsung main pasang, tanpa menghiraukan sempit atau menganggu tidak orang lain.

Terkadang, sialnya lagi, tenda-tenda itu ditumpuk begitu saja di atas median jalan, sampai-sampai rumput pun tak ada ruang buat bernafas. Memang, itu semacam simalakama bagi siapa saja yang menjadi walikota. Bagaimana tidak, pada saat lapangan kerja sempit, warga tak punya pilihan lain, kecuali berdagang dan berdagang.


Sumber : Munawardi Ismail
»»  read more

Sedekah Tanpa Pamrih

SAAT paling indah dalam hidup ini ketika kita memperoleh sesuatu yang didamkan sekian lama. Semisal mendambakan seorang isteri yang “cantik” atau lulus dari sekolah dengan nilai sempurna. Kebahagian semacam ini tak terperi, seakan dunua milik kita seorang, sedangkan yang lainnya hanya pada numpang. Di sinilah terkadang orang tanpa sadar menjadi takabur dan riya.

Sifat takabur dan riya ini pada akhirnya akan membinasakan diri sendiri. “Saudara” takabur adaalah congkak, tinggi hati. Dan jika sudah melekat pada seseorang, maka dia akan merasa menjadi manusia paling hebat. Itulah yang dimiliki Fir’aun hingga mengaku dirinya sebagai Tuhan. Akhirnya ia harus ditenggelamkan akibat takabur dan kecongkakannya itu.

Banyak orang yang tak bisa menahan diri ketika melihat keindahan dunia. Mereka yang punya segalanya, kekayaan juga kekuasaan. Mereka mengatur dan merencanakan hidup mereka sendiri melebihi kemampuan yang dimiliki. Dalam setahun ke depan, mereka telah memproyeksikan banyak rencana dan keinginan. Memperluas rumah dan perusahaan. Liburan ke luar negeri tiga kali dalam setahun. Dan menghabiskan malam tahun baru di suatu tempat yang paling prestisius. Namun mereka lupa memperluas ibadah dan ketakwaan mereka kepada Allah swt. Mereka lupa, bahwa kematian setiap saat mengintai mereka. Mereka sibuk menabung kekayaan, lupa menabung amalan untuk akhirat. “Mereka dicemaskan oleh diri mereka sendiri (QS. Al-Furqan: 154).

Banyak sekali contoh kasus mereka yang takabur, akhirnya menyeretnya jatuh pada jurang kehinaan. Kita ketahui ada pejabat korup yang diseret ke pengadilan. Ketika berkuasa ia dipuja-puja, namun saat di penjara mereka sendirian. Dan perasaan kehinaan ini bukan hanya dialami dirinya, tapi dialami keluarganya. Itulah yang dikhawatirkan Rasulullah saw dengan sabdanya; “Sesuatu yang paling aku khawatirkan pada kalian adalah syirik kecil. Dan syirik kecil itu adalah riya.”

Kebalikan dari sikap takabur adalah rendah hati, ringan tangan, dan penolong. Suka membantu orang yang kesusahan. Meringankan beban orang menderita. Mendermakan hartanya pada jalan yang Allah ridhai. Sebab dalam Islam, nilai suatu amal tidak diukur oleh jumlah dan kuantitasnya, akan tetapi ditentukan pada tujuan dan motivasinya, kejujuran dan keikhlasannya. Jika tujuan dan motivasinya baik maka baik pula di sisi Allah swt. Namun, jika perbuatan itu karena mengharap pamrih, sudah pasti akan menjadi laknat baginya. Banyak yang memperlihatkan ikhlas dan rela untuk membantu kaum yang lemah, namun di balik itu tersimpan tujuan dan motivasi tertentu; berharap ada balas jasa dari orang yang dibantunya itu.

Kita melihat senyuman manisnya, tapi siapa sangka di balik senyum menawan itu tersimpan kepentingan terselubung. Model sedekah seperti ini yang saat ini banyak kita jumpai di tengah-tengah kita. Pada awalnya mereka turun ke desa-desa dan menemui warga. Lalu hadiah dibagi-bagikan, seolah-olah mereka tulus dalam membantu warga. Namun karena keinginan mereka tidak tercapai, beberapa minggu kemudian, datang dan mengambil kembali pemberian/hadiah mereka. Masya Allah, semoga manusia seperti itu yang tidak jujur dan iklas, harus dicatat jangan sampai menjadi pemimpin rakyat ini.

Dalam satu ayat Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS Al-Insah: 9). Bahwa sedekah yang punya nilai jual di sisi Allah, jika sedekah itu tidak berkait dengan segala kepentingan kecuali berharap pahala dari Allah swt.

Kejujuran adalah amanat. Kebohongan adalah khianat. Itulah sari dari satu pidato khalifah Abu Bakar, saat ia dilantik. Dan yang mengagumkan lagi, Abu Bakar ketika meninggal tidak meninggalkan kekayaan apa pun. Bahkan beliau pun minta dikafankan dengan pakaian yang dikenakannya, dengan alasan masih banyak orang hidup yang memerlukan kain. Padahal, Abu Bakar sebelum diangkat menjadi kalifah, dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Kota Mekkah, namun seluruh harta kekayaan beliau itu, disedekahkan untuk kepentingan perjuangan agama Islam bersama Rasulullah. Bisakah para pemimpin terutama mereka yang saat ini dipercaya rakyat, menirunya?

Sumber : Halim Mubary

»»  read more

Landskap Baru Politik Aceh

PEMILU yang telah dilaksanakan, memberikan landskap baru politik. Ibarat arus air deras, usai pemilu, kita telah dapat melihat landskap politik yang telah berubah itu. Baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Partai Demokrat yang berasosiasi dengan Presiden Yudhoyono, menempati jajaran teratas di pentas utama politik nasional. Partai Demokrasi Perjuangan dan Partai Golkar juga telah menerima kenyataan posisi yang mereka dapatkan itu adalah keputusan rakyat. Sejumlah partai lain harus berpuas diri karena perolehan suara mereka yang mencukupi dan membuat mereka aman. Ancaman bangkrut atau dibangkrutkan oleh Undang undang tidak akan mereka alami. Sebagian terbesar partai politik lainnya juga harus ikhlas,karena persyaratan minimum perolehan suara tidak mereka dapatkan. Partai partai yang masuk dalam kelompok ini segera akan menjadi sejarah, paling kurang namanya tidak akan tampil sama dan serupa pada pemilu mendatang.

Di Aceh, Pemilu kali ini aman sekaligus fenomenal. Kalau kita melihat kepada sejumlah statemen awal, baik dari KIP, Panwas Pemilu, dan bahkan Kepolisian, rasanya hampir dapat dipastikan bahwa Pemilu di Aceh lancar adanya. Bahwa ada kelemahan di sana sini, semua pihak telah mengakuinya. Terlepas dari segala kekurangan dan pelanggaran, kalau kita merujuk kepada angka-angka yang dilaporkan KIP, Partai Aceh memperoleh dukungan yang sangat signifikan. Bahkan untuk ukuran biasa, Pemilu di Aceh kali ini telah membuat tsunami politik yang sangat dasyhat. Hampir sebagian besar DPRK dikuasai oleh Partai Aceh, sedangkan untuk DPRA, nampaknya Partai Aceh juga akan menjadi partai yang sangat dominan.

Tidak ada tafsir yang sama dan serupa terhadap kemenangan Partai Aceh. Semua pengamat mempunyai kacamata dan pisau analisa tersendiri, yang digunakan untuk membedah rahasia kemenangan Partai Aceh. Ilmu politik bukanlah sebuah rumusan ilmu pasti alam yang menggunakan dalil-dalil yang sangat mampu mendekati kebenaran. Analisa politik selalu memberikan ruang terbuka yang sangat besar dan relatif. Akibatnya, modal yang dibutuhkan oleh seorang pengamat politik cukup dengan mampu menjelaskan arti dari proses politik berikut dengan prediksinya, dan mampu memberikan alasan baru seandainya arti dan prediksi yang telah diberikan salah dan tidak terjadi.

Setiap peristiwa politik seperti Pemilu pada akhirnya selalu menggugah kita untuk segera sadar tentang apa yang telah terjadi. Apa makna dan pesan yang telah disampaikan rakyat kepada sekelompok orang yang telah berkeputusan untuk mencurahkan hidupnya bagi kepentingan publik melalui partai politik? Terlepas dari apapun narasi proses pemilu yang digambarkan oleh berbagai kalangan, baik yang marah dan kesal, maupun yang biasa-biasa saja, pesan yang disampaikan rakyat sangat sederhana. Naluri biasa saja mampu menangkap pesan rakyat Aceh, “lanjutkan perdamaian”. Kemenangan mayoritas partai Demokrat untuk DPR RI dan kemenangan besar Partai Aceh untuk kabupaten kota dan provinsi adalah kemenangan para pihak yang telah menandangani perjanjian Helsinki, dan itulah yang didukung mayoritas pemilih. Sekalipun Yusuf Kalla adalah aktor utama perdamaian Aceh, akan tetapi publik lebih melihat Kalla sebagai representasi pemerintah yang berkuasa, bukan representasi Golkar, dan itu adalah representasi Yudhoyono. Tentu saja interpretasi seperti ini juga mempunyai kelemahan besar yakni semua variabel, seperti organisasi, komunikasi politik, dan lain-lain dianggap konstan dan sama untuk semua.

Belajar dari Nicaragua dan Afrika Selatan
Di antara sekian banyak tantangan yang dialami oleh gerakan perlawanan dan pembebasan yang bermetamorfosis menjadi partai politik, bahwa dunia politik seringkali mempunyai realitas dan logika tersendiri yang sangat berbeda dari realitas dan logika perlawanan bersenjata. Memang benar adagium Mao Zedong, pemikir besar gerilya Cina bahwa perang adalah politik yang berdarah, sedangkan politik adalah perang yang tak berdarah. Dalam kenyataannya, adagium Mao itu tidak sesederhana yang dituliskan. Ketika ranah politik praktis mulai dilalui, maka ada realitas baru yang akan di dapat dan itu seringkali realitas itu sangat jauh menyimpang dari yang ada dalam imajinasi yang dipunyai. Ada cerita sukses dan ada cerita gagal yang didapatkan dari pengalaman-pengalaman yang serupa di berbagai tempat di dunia.

Tugas dan tantangan besar yang sering dihadapi oleh gerakan perlawanan setelah memenangkan mandat rakyat melalui pemilu yang sah adalah, bagaimana mengubah legitimasi yang diperoleh ke dalam bentuk pelaksanaan pemerintahan yang efektif dan effisien. Intinya, bagaimana menggunakan otoritas yang telah diperoleh melalui legalitas dengan membangun pemerintahan yang cakap dan kuat.Posisi politik yang kini ditempati telah berubah sama sekali, dari yang sebelumnya di posisi kutub “melawan”, bahkan secara fisik dan senjata, kepada kutub “memerintah” dengan kekuatan legislatif dan eksekutif sekaligus.

Ada dua kasus yang layak menjadi bandingan. Yaitu gerakan Sandanista di Nicaragua, dan African National Congres di Afrika Selatan. Memang Aceh, barangkali tidak sangat sepadan kalau dibandingkan dengan Nicaragua dan Afrika Selatan, karena di kedua tempat itu yang bertukar adalah rezim pemerintah nasional. Di Nicaragua, Sandanista menggulingkan pemerintahan otoriter pemerintahan diktatorial Anastasio Somoza yang di dukung Amerika Serikat, sedangkan di Afrika Selatan, African Nasional Conggres yang dipimpin Nelson Mandela menggantikan pemerintahan Apartheid yang rasis dari kelompok kulit putih.

Sandinista adalah satu gerakan kiri sangat radikal yang tumbuh dan berkembang di Nicaragua, Amerika Tengah pada kurun waktu 80-an. Gerakan ini dipimpin oleh seorang tokoh muda cemerlang dan gagah, Daniel Ortega. Kawasan Amerika tengah itu merupakan halaman belakang Amerika Serikat yang pada saat itu sangat takut dengan penetrasi komunis blok Timur pada penghujung perang dingin. Pemerintahan Somoza yang didukung Amerika Serikat adalah pemerintahan yang tiran dan korup, sehingga kekecewaan dan kemarahan publik menjadi cerita sehari-hari. Gerakan Sandanista sebagai gerakan pro kaum miskin pedesaaan dan sarat dengan ideologi sosialis, mendapat sambutan dan dukungan luar biasa rakyat. Setelah berjuang dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama, yang didukung rakyat, rezim otoriter Somoza hancur. Bahkan Somoza terpaksa lari ke pengasingan, dan akhirnya terbunuh.

Segera setelah pemerintahan Somoza hancur, Sandanista yang dipimpin oleh Daniel Ortega mendapat dukungan mayoritas rakyat kemudian memerintah Nicaragua. Pemerintahan Sandanista dalam penilaian banyak pengamat bukanlah pemerintahan yang korup, akan tetapi mempunyai kompetensi pemerintahan yang relatif lemah. Berbagai impian untuk mewujudkan kesejahteraan publik, terutama pemihakan kepada kaum miskin yang digembar gemborkan sebelum memerintah, dalam kenyataannya tidak gampang untuk diwujudkan, dan itu membuat rakyat kecewa. Akhirnya pemerintahan Sandanista harus menghadapi kenyataan, ketika pemilihan umum dilaksanakan, Sandanista kehilangan kepercayaan rakyat. Daniel Ortega harus menerima kenyataan itu, dan presiden Nicaragua harus diserahkan kepada seorang perempuan tangguh Violeta Chamoro,dari partai oposisi yang didukung Amerika Serikat.

Sandanista memang mendapat pelajaran sangat pahit dengan harga yang sangat mahal. Mereka harus kembali berjuang dari nol, mereka harus kembali berurusan dengan penguatan partaipolitik mulai dari tingkat desa. Perjuangan melaui jalur politik yang ditempuh oleh Sandanista setelah terdepak dari panggung pemerintahan di Nicaragua memakan waktu yang relatif lama. Hampir lima belas tahun lamanya Sandanista harus berjuang dari nol untuk kembali meraih kepercayaan publik. Itulah sebabnya ketika Daniel Ortiega dilantik sebagai presiden Nicaragua baru-baru ini yang tersisa hanya kegagahan dia ketika usia muda dan rambut yang sudah mulai beruban. Syukur juga Sandanista kembali mendapat kepercayaan rakyat Nicaragua, setelah ditinggalkan selama belasan tahun.

Afrika Selatan punya cerita yang berbeda dari Nicaragua. Cerita Afrika Selatan adalah cerita perlawanan mayoritas kulit hitam melawan minoritas kulit putih yang berkuasa dan menerapkan politik rasis. Perlawanan itu digerakkan oleh organisasi African National Conggres dipimpin Nelson Mandela. Perjuangan mereka memakan waktu yang lama, memakan korban cukup banyak, dan penderitaan panjang, termasuk pemenjaraan Mandela. akhirnya gerakan pembebasan itu tampil, dan dipercaya oleh rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Dalam beberapa kali pemilihan umum, African National Conggress selalu mendapat kepercayaan dari rakyat. Dengan segala kelemahan dan, kelebihan yang dimilikinya. African Nasional Conggres telah mampu berbuat dan menyelesaikan berbagai persoalan dasar yang dihadapi oleh rakyatnya. Afrika Selatan kini bahkan telah melaju dan menjadi salah satu negara kuat, maju, dan berpengaruh di kawasan itu. Sekalipun terjadi berbagai turbulensi internal partai itu, namun soliditas yang dimiliki, dan visi yang diwujudkan telah membuatnya tetap mendapat kepercayaan dari rakyat Afrika Selatan.

Banyak ahli yang menulis kelemahan dan kelebihan gerakan perlawanan dan pembebasan ketika memasuki dunia politik. Namun ada satu hal yang mereka sepakati, bahwa disiplin yang dimiliki oleh gerakan perlawanan, jika dapat diterapkan dalam pelaksanaan pemerintahan adalah kekuatan utama yang akan sangat menentukan. Lebih dari itu disiplin juga dapat dikonversikan dalam bentuk kerja keras, belajar keras, dan taat azas.

Energi perlawanan, ketika dapat dikonversi menjadi energi politik dan pembangunan akan memberikan lompatan-lompatan sejarah yang sangat dasyhat. Itu yang telah dilakukan oleh sisa pengikut Chiang Kai Sek di Taiwan, para pengikut Ho Chi Minh di Vietnam, dan bahkan para pendukung Park Chung He di Korea Selatan.. Akankah hal itu menjadi sumber inspirasi bagi partai Aceh? Ruang dan waktu untuk itu kini terbuka dengan lebar. Sejarah selalu tampil dalam berbagai bentuk dan cenderung berulang dalam berbagai versi. Kearifan sejarah selalu menuntun kita untuk belajar dari pengalaman orang lain dan menuntun kita agar tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh mereka.


Sumber : Ahmad Humam Hamid


»»  read more

Jalan-Jalan ke Ulee Kareng

TABIAT buruk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) kembali terulang. Mereka akan ke luar negeri, melawat tujuan negara-negara Asean dan Arab Saudi. Andaikan Mendagri menyetujui permohonan mereka, maka dipastikan agenda itu akan terwujud. Kewenangan untuk memutuskannya berada sepenuhnya di tangan pak menteri. Luar biasa.

Darimana asal muasal muncul ide itu sulit diketahui. Apakah disuarakan secara kolektif atau dari seseorang atau sekelompok anggota dewan yang kemudian berkembang menjadi keputusan kolektif parlemen. Rencana agenda perjalanan anggota DPR Aceh itu sendiri diperkirakan menghabiskan dana tidak kurang dari Rp 3,4 milyar (setiap anggota dialokasi Rp 50 juta), yang bersumber dari APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) Tahun 2009 . Berarti mereka akan menggunakan dana publik, bukan dana pribadi. Dinamai dana publik karena dana tersebut dikumpulkan pemerintah dari pajak-pajak atau sumber-sumber lain, apakah itu dari penerimaan perusahaan-perusahaan (usaha ekonomi), ataupun pendapatan individu-individu yang dipajaki pemerintah setiap tahunnya.

Kendati dana publik, tidak ada hak rakyat untuk menolak rencana DPR Aceh itu. Kewenangan untuk mengalokasi dan memutuskan anggaran sepenuhnya berada ditangan mereka. Hak rakyat hanya sebatas menyuarakan ketidak-setujuan, atau berteriak-teriak, tidak lebih dari itu. Tidak ada kewenangan rakyat menghentikannya. Buktinya, setiap hendak melawat ke luar negeri, pihak DPR Aceh tidak pernah akan meminta persetujuan dari rakyat, walaupun itu dibiayai dengan dana publik (APBA).

Karenanya, aneh juga jika dana yang digunakan DPR Aceh itu disebut dengan dana publik. Mungkin akan lebih pantas jika dinamai sebagai dana politik karena ianya dapat digunakan semaunya oleh para elit politik, tanpa memedulikan aspirasi publik.

Sudah sangat sering rakyat berkoar-koar meminta agar DPR Aceh mengerti persoalan yang sedang diderita rakyat. Tidak jarang para analis politik (pengamat) mengomentari perilaku buruk para anggota parlemen selama ini. Betapa banyak dan letihnya para pegiat masyarakat (LSM), para mahasiswa, dan komponen lain yang pro-rakyat melakukan kritik dan tekanan, namun sepertinya tidak pernah masuk ke benak para wakil rakyat. Sekuat apapun teriakan rakyat, sehebat apapun komentar analis politik, dan sekeras apa pun kritik dan tekanan dari pihak-pihak lain, toh para anggota yang terhormat itu tetap berlalu bagaikan kafilah, tanpa pernah merasa bersalah.

Beberapa bulan yang lalu, banyak pihak yang menentang agar Tim Pansus (Panitia Khusus) rancangan Qanun Wali Nanggroe tidak berangkat ke luar negeri terkait dengan tugas legislasi. Waktu itu publik menilai lawatan tersebut selain tidak efektif juga memboroskan dana publik. Sayangnya, tentangan publik tidak dihiraukan. Mereka tetap bersikukuh dengan sikap awalnya, menjaring masukan dari pihak-pihak yang dianggap berkompeten demi pengayaan muatan rancangan. Apa yang diperoleh? Tim pulang dengan tangan hampa, tanpa memperoleh apa-apa. Hajatan untuk menemui tokoh GAM, Dr. Tgk. Hasan Tiro tidak berhasil. Akibatnya, output (keluaran) dari lawatan itu tidak sebanding dengan dana yang dihabiskan. Hingga kini tidak pernah ada pertanggung jawaban mereka kepada publik. Yang ada hanya kenangan bahwa mereka pernah menikmati indahnya panorama kota-kota di Eropa.

Harus kita akui, sejauh ini belum terbukti utuhnya kecintaan para anggota parlemen kepada rakyatnya. Sebagian besar mereka masih terkesan menutup mata dan abai terhadap fenomena dan realita yang ada. Mereka tidak mau tahu bahwa masih banyak rakyat yang hidupnya melarat, bergelut dalam cengkeraman kemiskinan, susah mencari nafkah, tidur dibawah tenda-tenda lapuk, atau hidup berhimpit-himpitan di permukiman yang kumuh dengan sanitasi yang begitu buruk. Mereka lupa jika masih banyak dijumpai anak-anak dari keluarga miskin yang kekurangan gizi akibat kemiskinan yang melilit keluarganya.

Lepas dari semuanya, publik sebenarnya sulit menerima sikap para anggota DPR Aceh itu. Publik pasti bertanya-tanya tentang hal-hal yang itu-itu juga. Mengapa dan untuk apa melawat ke luar negeri? Apa yang dicari mereka? Seberapa urgenkah kepentingan dan sumbangannya untuk kebutuhan dan solusi atas masalah pembangunan Aceh saat ini? Bukankah masa jabatan mereka tersisa hanya hitungan bulanan lagi?

Sudah begitu parahkah nurani para anggota DPR Aceh? Tidakkah mereka mengedepankan nurani dalam bersikap dan bertindak? Tidak pekakah dengan penderitaan dan nestapa yang dialami rakyatnya. Bukankah sejatinya mereka harus mengedepankan kepentingan rakyatnya di atas segala-galanya? Kemanakah perasaan cinta dan nilai ketulusan serta semangat pengorbanan mereka di saat-saat akan meninggalkan gedung terhormat itu.

Sebuah cinta, ketulusan, dan pengorbanan yang abadi seharusnya tidak tergerus walau predikat terhormat akan tertanggal sesaat lagi. Ingatlah, jika pun rakyat selama ini menaruh hormat pada Pak Waki bukan dikarenakan kedudukannya yang terhormat, melainkan lebih pada sikap dan tabiat yang melekat padanya. Ada satu-dua anggota dewan yang saya kenal yang tetap dikenal baik perangainya oleh rakyat karena pemihakan dan pengorbanannya selama ini kepada kaum yang lemah. Sebaliknya juga, tidak sedikit yang dibenci rakyat karena mereka hanya pandai bersandiwara, penuh kepura-puraan, putih diucapan tapi hitam dihatinya.

Sebagai wakil rakyat, seharusnya para anggota DPR Aceh tidak hanya asyik dengan jalan dan alur pikirannya sendiri. Hanya pandai meliuk-liuk seperti ular, menebar bisa (racun) bagi mangsanya yang sebenarnya justru tidak bersalah, dan hanya memikirkan yang terbaik dan menguntungkan bagi dirinya. Seharusnya para anggota DPR Aceh memanfaatkan masa yang tersisa ini untuk lebih mendekatkan diri kepada rakyatnya. Inilah sebenarnya momentum yang tepat untuk membaur setelah sekian lama menjauh. Berbaur dengan rakyat, terutama di daerah-daerah pelosok Aceh akan jauh lebih bermakna dibanding melawat ke luar negeri. Datangi dan sambangi rakyat yang masih prihatin hidupnya di wilayah-wilayah pedalaman di pantai barat-selatan, pesisir utara-timur, atau daerah pegunungan tengah-tenggara. Bukankah ini jauh lebih bermakna dan akan dikenang rakyat.

Pahami dan resapilah penderitaan rakyat. Kenali isu-isu kritis yang mungkin belum terungkap ke permukaan sehingga luput dalam pembahasan rancangan program/kegiatan selama ini. Catat semua temuan isu-isu kritis yang ada. Berikan kontribusi terakhir sebagai anggota parlemen dengan merancang program/kegiatan baru yang pro-rakyat untuk diimplimentasi pada tahun depan, atau dalam APBA-Perubahan tahun ini.

Alokasikan saja dana sebesar Rp 3,4 Milyar itu untuk kepentingan program/proyek pembangunan yang bermanfaat untuk rakyat. Dana sebesar itu setidaknya dapat dimanfaatkan untuk membangun 68 unit rumah type 36 untuk kaum dhuafa (andaikan Rp 50 juta/unit), atau membantu biaya sekolah bagi 2.833 orang anak yatim (jika Rp 1,2 juta per orang/tahun), atau membeli sebanyak 262 unit sepeda motor (harga Rp 13 juta/unit) untuk dibagikan kepada para tokoh informal yang berjasa didalam bidang pendidikan, adat, budaya, atau lainnya di gampong-gampong.

Jika pun pilihan-pilihan di atas tidak disukai, pihak DPR Aceh dapat juga mengalokasikannya untuk membeli berton-ton bubuk kupi Ulee Kareeng dan lalu membagi-bagikannya kepada kaum lelaki di seluruh Aceh. Siapa tahu, dengan meminum kupi (kopi) ini kaum lelaki di seluruh Aceh akan kuat menahan kantuk saat bertugas ronda malam menjelang hari pencontrengan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) bulan mendatang. Bukankah itu jauh lebih bermanfaat, dibanding hanya jalan-jalan ke luar negeri!


Sumber : Rustam Effendi

»»  read more