Sabtu, 18 April 2009

AKHLAK TASAWUF

TASAWUF itu pilihan berat, itulah bayangan banyak orang. Dianggap sebagai perilaku asketik; yang terasing dengan kehidupan dunia. Dibayangkan, seorang sufi (pelaku tasawuf) adalah mereka yang menggunakan pakaian kumuh, memakai tongkat, berjubah dan berjenggot panjang. Mereka tidak makan, tidak minum, tidak bicara, berjalan sambil menunduk, dan lain sebagainya. Maka menjadi sufi adalah pilihan irrasional di zaman modern ini.

Dalam konteks kehidupan saat ini, hidup sebagaimana digambarkan itu akan dianggap sebagai orang gila dan dibawa ke RSJ. Sebab, dalam zaman yang menjadikan materi sebagai tujuan dan landasan utama kehidupan tidak mungkin orang meninggalkannya. Seluruh usaha, cita-cita, perjuangan diarahkan untuk mendapatkan kedudukan dan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Itulah anggapan yang keliru.

Tasawuf, dalam istilah asing (walaupun tidak mengena) dikenal dengan sebutan mysticism, pada dasarnya dimiliki oleh semua agama, budaya dan peradaban. Tasawuf merupakan satu pilihan jalan hidup, world view, metode atau cara khusus dalam perilaku yang dijalani seseorang untuk mencapai ma’rifatullah atau mengenal Tuhan lebih dekat. Hal ini dilakukan karena Allah menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya agar Dia dikenal dan ciptaannya menyembah kepada-Nya. Dalam satu hadits qudsi Allah swt mengatakan: “Kuntu khanzanmakhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa fakhalaqtul khalqa” (Semula Aku bagaikan mutiara yang terselubung, Aku ingin dikenal, maka Aku menciptakan makhluk).

Ma’rifah (berasal dari kata ‘arafa) menjadi konsep sentral dalam tasawuf. Kata ini berarti mengenal Allah dengan dekat. Untuk mengenal-Nya diperlukan latihan spiritual dengan mensucikan diri dari noda-noda batin secara sungguh-sungguh. Usaha ini dilakukan dengan banyak jalan, terutama zikir. Hanya dengan jiwa yang suci maka ruhani sang hamba akan menjadi murni dan mampu “menghadap” Tuhan. Dalam hal ini berlaku hukum keseimbangan dalam komunikasi. Ketika kita hendak berkomunikasi dengan petani, maka perlu memahami petani, demikian juga dengan politikus, ilmuan dan lainnya. Dan jika hendak berkomunikasi dengan Tuhan, maka harus membersihkan hati dan jiwa dari berbagai kotoran yang meliputinya.

Allah swt adalah zat yang suci, maka berkomunikasi dengan-Nya akan berlangsung dengan baik jika jiwa manusia bersih dan bebas dari penyakit ruhani. Karena itu Allah menjadikan pembersihan ruhani ini sebagai tujuan agama yang paling esensial. Firman-Nya; “qad aflaha man zakkaha” (QS. Al-A’la: 14), yang berarti beruntunglah mereka yang dapat mensucikan jiwanya. Sebab hanya mereka yang memiliki jiwa yang suci, akan mendapatkan pengajaran yang baik dari Tuhannya. Mereka yang mendapat curahan rahmat dan karunia yang tiada henti karena kesucian itu.

Allah mengatakan “celaka” bagi mereka yang tidak mensucikan jiwanya meskipun seseorang tersebut telah melakukan perintah Allah. Fawailul lil mushallin (al-Ma’un: 4), celakalah orang yang melaksanakan shalat. Celaka ini hanya bagi mereka yang shalat tidak menjadikan hatinya terbuka untuk merasakan hal-hal yang dituntut oleh shalat itu sendiri, seperti merasa berempati pada orang miskin, mencegah perbuatn keji dan mungkar dan menjadikannya sebagai wahana mengingat Allah dalam keseharian hidupnya.

Demikian juga ibadah-ibadah lain yang diperintahkan Allah, tujuan utamanya adalah hati.

Zakat, puasa, haji, dan ibadah yang lain sasarannya adalah untuk membersihkan segumpal daging yang jika ia baik baka akan baiklah manusia itu, dan sebaliknya, jika ia buruk, maka akan rusaklah manusia itu. Daging itu adalah hati. Imam al-Ghazali mengatakan maksiat yang dilakukan manusia akan memberikan setitik noda hitam dalam hatinya. Semakin banyak maksiat dilakukannya, maka semakin penuh titik noda tersebut menutupi sanubarinya, dan lama-kelamaan ia akan gelap. Khatamallahu ‘ali qulubihim, wa’ala sam’ihim, wa’ala absharihim. Allah menutupi hati mereka, pendengaran mereka dan penglihatan mereka. Karennaya Sum mum bukhmun ‘umyum fahum la yarji’un, mereka menjadi tuli, bisu dan buta, dan tidak akan mereka dapat kembali kepada jalan yang benar.

Memahami hal tersebut, maka bertasawuf adalah berakhlak mulia. Ada orang yang menyatakan tasawuf memiliki unsur asing yang tidak ada dalam Islam. Bahkan kata tasawuf sendiri tidak dikenal pada zaman Nabi Muhammad. Tasawuf juga ditolak karena Allah sama sekali tidak pernah menyebut kata tasawuf dalam Alquran. Alasan-alasan inilah yang membuat kebanyakan orang tidak mau mengikuti tasawuf dan mengakui sebagai bagian dari ajaran Islam. Padahal para sufi sendiri menegaskan bertasawuf adalah berakhlak dan beretika.

Ajaran mengenai akhlak disepakati sebagai esesnsi ajaran Islam. Rasulullah menegaskan innamal bu’istu li utammimal makarimal akhlak. Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Perbaikan akhlak menjadi esesni perutusan Nabi Muhammad SAW. Karenanya tidak ada yang menolak bahwa moralitas, akhlak, etika atau apapun namanya merupakan esensi dalam Islam. Karena itu jika ada orang yang tidak setuju dengan kata tasawuf, cukup mengatakan etika Islam atau akhlak islami.

Dengan memposisikan tasawuf sebagai akhlak, maka tidak ada halangan bagi setiap orang untuk menjalankannya. Akhlak yang baik tidak terbatas pada kehidupan model tertentu. Ada seorang laki-laki yang memiliki harta yang banyak. Ia ingin menjalankan kehidupan sufi. Dalam pikiranya, kehidupan sufi mesti dimulai dengan zuhud dalam arti meninggalkan kehidupan dunia yang bergelimang harta. Ia hendak menjual semua hartanya dan hidup dalam keprihatinan. Seorang temannya menyarankan agar ia pergi belajar dulu kepada seorang sufi sebelum ia melakukan tindakannya. Laki-laki ini kemudia pergi ke seorang guru sufi terkenal di kotanya. Yang ia lihat sungguh di laur dugaannya. Sang sufi adalah seorang yang kaya. Rumahnya bagus, pakaiannya bagus, makanannya juga cukup. Ia terkaget dengan kenyataan ini, sebab selama ini para sufi yang ia bayangkan hidup kumuh dan terkessan kotor. Sang sufi menjelaskan: “Kalau anda dapat anugerah Tuhan, faamma bini’mati rabbika fahaddits, perlihatkan anugerah itu dengan menyantuni orang dan mensyukurinya, asalkan engkau tidak berlebihan.”

Dalam tradisi sufi dikenal istilah fakir. Sayangnya istilah ini dipahami sebagai kehidupan yang serba kekurangan dan meninggalkan usaha mendapatkan harta. Padahal dalam pengertian yang sebenarnya, faqir adalah bersandar hanya kepada Allah. Faqir berasal dari kata Arab, faqr yang berarti tulang punggung. Tulang punnggung adalah tulang paling mendasar yang menajadi tempat bersandar. Dalam konteks ini, maka Allah adalah tempat bersandar yang palng sempurna. Seringkali orang fakir bersandar kepada manusia. Mereka menganggap rizki untuknya diberikan Allah melalui orang lain sehingga mereka terjebak pada pengharapan dan meminta bantuan kepada orang lain.

Padahal Allah-lah yang berhak menjadi tempat bersandar dan meminta. Kekayaan di dunia tidak menunjukkan apa-apa di hadapan Allah. Demikian juga dengan jabatan dan kekuasaan. Kefakiran di hdapan Allah bukan dinilai dengan harta dan kekuasaan, namun dengan hati sanubari seorang hamba.

Dapat disimpulkan, bahwa menjadi sufi bukanlah meninggalkan pekerjaan dan aktifitas yang selama ini sudah anda lakukan, dengan syarat pekerjaan itu adalah pekerjaan halal. Semua orang, semua pekerja, semua profesi, semua aktifitas yang baik dan halal dapat menjadi sufi dan menjalankan tasawuf; yakni dengan mempraktikkan akhlak yang mulia dan menyadari kehadiran Allah selalu dalam hidupnya. Kesadaran akan kehadiran Allah akan membawa manusia pada konsentrasi ilahiah dalam melaksanakan pekerjaan dan aktifitasnya. Ini harus dilakukan dengan kesadaran dan latihan terus-menerus. Wallahu’a’lam.


Sumber : Sehat Ihsan Shadiqin, Penulis adalah Dosen Akhlak Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry-Banda Aceh.

Comments :

0 komentar to “AKHLAK TASAWUF”


Posting Komentar