Minggu, 26 April 2009

Sedekah Tanpa Pamrih

SAAT paling indah dalam hidup ini ketika kita memperoleh sesuatu yang didamkan sekian lama. Semisal mendambakan seorang isteri yang “cantik” atau lulus dari sekolah dengan nilai sempurna. Kebahagian semacam ini tak terperi, seakan dunua milik kita seorang, sedangkan yang lainnya hanya pada numpang. Di sinilah terkadang orang tanpa sadar menjadi takabur dan riya.

Sifat takabur dan riya ini pada akhirnya akan membinasakan diri sendiri. “Saudara” takabur adaalah congkak, tinggi hati. Dan jika sudah melekat pada seseorang, maka dia akan merasa menjadi manusia paling hebat. Itulah yang dimiliki Fir’aun hingga mengaku dirinya sebagai Tuhan. Akhirnya ia harus ditenggelamkan akibat takabur dan kecongkakannya itu.

Banyak orang yang tak bisa menahan diri ketika melihat keindahan dunia. Mereka yang punya segalanya, kekayaan juga kekuasaan. Mereka mengatur dan merencanakan hidup mereka sendiri melebihi kemampuan yang dimiliki. Dalam setahun ke depan, mereka telah memproyeksikan banyak rencana dan keinginan. Memperluas rumah dan perusahaan. Liburan ke luar negeri tiga kali dalam setahun. Dan menghabiskan malam tahun baru di suatu tempat yang paling prestisius. Namun mereka lupa memperluas ibadah dan ketakwaan mereka kepada Allah swt. Mereka lupa, bahwa kematian setiap saat mengintai mereka. Mereka sibuk menabung kekayaan, lupa menabung amalan untuk akhirat. “Mereka dicemaskan oleh diri mereka sendiri (QS. Al-Furqan: 154).

Banyak sekali contoh kasus mereka yang takabur, akhirnya menyeretnya jatuh pada jurang kehinaan. Kita ketahui ada pejabat korup yang diseret ke pengadilan. Ketika berkuasa ia dipuja-puja, namun saat di penjara mereka sendirian. Dan perasaan kehinaan ini bukan hanya dialami dirinya, tapi dialami keluarganya. Itulah yang dikhawatirkan Rasulullah saw dengan sabdanya; “Sesuatu yang paling aku khawatirkan pada kalian adalah syirik kecil. Dan syirik kecil itu adalah riya.”

Kebalikan dari sikap takabur adalah rendah hati, ringan tangan, dan penolong. Suka membantu orang yang kesusahan. Meringankan beban orang menderita. Mendermakan hartanya pada jalan yang Allah ridhai. Sebab dalam Islam, nilai suatu amal tidak diukur oleh jumlah dan kuantitasnya, akan tetapi ditentukan pada tujuan dan motivasinya, kejujuran dan keikhlasannya. Jika tujuan dan motivasinya baik maka baik pula di sisi Allah swt. Namun, jika perbuatan itu karena mengharap pamrih, sudah pasti akan menjadi laknat baginya. Banyak yang memperlihatkan ikhlas dan rela untuk membantu kaum yang lemah, namun di balik itu tersimpan tujuan dan motivasi tertentu; berharap ada balas jasa dari orang yang dibantunya itu.

Kita melihat senyuman manisnya, tapi siapa sangka di balik senyum menawan itu tersimpan kepentingan terselubung. Model sedekah seperti ini yang saat ini banyak kita jumpai di tengah-tengah kita. Pada awalnya mereka turun ke desa-desa dan menemui warga. Lalu hadiah dibagi-bagikan, seolah-olah mereka tulus dalam membantu warga. Namun karena keinginan mereka tidak tercapai, beberapa minggu kemudian, datang dan mengambil kembali pemberian/hadiah mereka. Masya Allah, semoga manusia seperti itu yang tidak jujur dan iklas, harus dicatat jangan sampai menjadi pemimpin rakyat ini.

Dalam satu ayat Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS Al-Insah: 9). Bahwa sedekah yang punya nilai jual di sisi Allah, jika sedekah itu tidak berkait dengan segala kepentingan kecuali berharap pahala dari Allah swt.

Kejujuran adalah amanat. Kebohongan adalah khianat. Itulah sari dari satu pidato khalifah Abu Bakar, saat ia dilantik. Dan yang mengagumkan lagi, Abu Bakar ketika meninggal tidak meninggalkan kekayaan apa pun. Bahkan beliau pun minta dikafankan dengan pakaian yang dikenakannya, dengan alasan masih banyak orang hidup yang memerlukan kain. Padahal, Abu Bakar sebelum diangkat menjadi kalifah, dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Kota Mekkah, namun seluruh harta kekayaan beliau itu, disedekahkan untuk kepentingan perjuangan agama Islam bersama Rasulullah. Bisakah para pemimpin terutama mereka yang saat ini dipercaya rakyat, menirunya?

Sumber : Halim Mubary

Comments :

0 komentar to “Sedekah Tanpa Pamrih”


Posting Komentar